Chinatown di Bandung Dulu Dipimpin Wijkmeester

Klenteng Setya Budhi di Chinatown (Pecinan) Bandung. | Foto serbabandung.com

MENGAPA ada Chinatown di Bandung atau di kota-kota besar lainnya di dunia? Dalam tulisan di dinding Bandung Chinatown Museum di Jalan Kelentang, Kota Bandung, disebutkan secara etimologi Chinatown disebut juga dengan Pecinan. Pecianan/pe-ci-nan/ n adalah tempat permukiman orang Cina. Biasanya berada di pusat-pusat perbelanjaan berdampingan dengan model rumah-rumah yang sumpek.

Di Bandung pun demikian,Chinatown di Bandung selain di Pasar Baru kawasan tumbuh di sekitar Jalan Suniaraja dan Citepus pada 1914. Setiap pecinan dipimpin oleh Wijkmeester. Wijkmeester untuk daerah Suniaraja adalah Thung Pek Koey. Adapun untuk daerah Citepus adalah Tan Nyim Coy. (Baca juga  Pecinan di Bandung Berawal dari Kawasan Suniaraja dan Pecinan Lama)

Wijkmeester dipimpin oleh seorang Luitenant der Chineeschen, Di Bandung Wijkmeester dipimpin oleh Luitenant Tan Djoesn Liong. (H. Buning, “Melesche Almanak”, 1914).

Para pemimpin Tionghoa itu diabadikan di beberapa tempat misalnya sekitar jalan Chinees-Wijk Citepus. Ada pula Gang Goan Ann di nadir dan Jap Lun.

Klenteng Setya Budhi di Chinatown (Pecinan) Bandung. | Foto serbabandung.com

Chinatown di Bandung meluas menyusul peristiwa Bandung Lautan Api. Saat itu kios-kios di Pasar Baru dibakar tentara Belanda. Adanya pemisahan wilayah Bandung menjadi utara dan selatan. Kedua wilayah dibatasi rel kereta api yang membujur Cimahi hingga Kiaracondong. Wilayah Utara dikuasai Belanda dan selatan dikuasai pribumi dan warga asing.

Saat ini daerah Chinatown di Bandung semakin luas meliputi Jalan Pasar Baru, Jalan ABC, Jalan Banceuy, Jalan Gardujati, Jalan Cibadak, dan Jalan Pecinan Bandung.

Di dinding Museum Chinatown Bandung dijlelaskan ada dua alasan terbentuknya pecinan. Alasan pertama adalah alasana sosial, berupa keinginan sendiri masyarakat Tionghoa untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan saling membantu. Hal tersebut sering dikaitkan dengan sifat eksklusif orang Tionghoa.

Namun dalam tulisan tersebut disebutkan hal tersebut tidak bisa digeneralisasi, karena sifat eksklusif ada pada etnis dan bangsa apapun. Contohnya di Fujian-Tiongkok di mana terdapat Kampung Arab dan di Shanghai yang terdapat Kampung Yahudi.

Dalam tulisan di dinding museum tersebut menjelaskan alasan lain, yakni alasan politis. Alasan ini lah yang memunculkan pecinan di Indonesia. Disebutkan pada zaman Hindia Belanda, pemerintah lokal mengharuskan masyarakat Tionghoa dikonsentrasikan di wilayah-wilayah tertentu supaya lebih mudah diatur. Kebijakan ini dikenal dengan nama Wijkenstelsel. Pemerintah Hindia Belanda menganggap kedekatan kaum pribumi dengan para warga Tionghoa membahayakan keamanan mereka.

Chinatown di Bandung dalam Tinjauan Budaya

Tulisan di dinding itu mengutip pernyataan Budayawan Tionghoa, Drs Soeria Disastra. Soeria mengatakan bahwa pecinan memang ada, tapi tidak ada batasan. Maksudnya adalah hubungan warga Tionghoa dan pribumi sekitar abad ke-19 dekat sekali, akan tetapi Pemerintahan Belanda tidak senang melihat kedekatan itu.

Menurut Soeria, Belanda memisahkan Tionghoa dan pribumi dari segi ekonomi. Warga Tionghoa dijadikan perantara perekonomian bangsa Eropa dan pribumi dalam perdagangan rempah-rempah dari pribumi ke Belanda untuk diekspor. Lama kelamaan kedekatan itu pun memudar.

Bangsa Tionghoa pertama kali datang ke Indonesia melalui ekspedisi Laksama Haji Muhammad Cheng Hoo (1404-1433). Ketika itu, Cheng Hoo berkeliling dunia untuk membuka jalur sutra dan keramik. Cheng Hoo pernah menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Sejak ekspedisi itu, berangsur-angsur bangsa Tionghoa berdatangan dan membangun pecinan di beberapada daerah di Pulau Jawa.

Kuncen Bandung, Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (Granesia, 1984) menyebut sebagian warga Tionghoa di Pulau Jawa pindah ke Bandung ketika terjadi Perang Diponegoro (1825).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *